Friday, October 30, 2020

Kopi Nako

 Depok, 31 Oktober 2020

======


Seketika benakku menampilkan sugesti untuk tidak berbicara apa-apa didepan Faisal, Richo dan Jihan.


Kamu tahu rasanya mengharapkan sesuatu, namun malah menjadi penonton dari harapan itu?


Aku yang selalu berharap setiap weekend bisa ke cafe nongkrong ketawa ketiwi sama pacar, itu nihil.


Kami, aku dan Isal adalah tipikal pemuda pemudi yang jauh dari kata-kata nongkrong di cafe. Namun sungguh itu yang amat aku inginkan dari 9 tahun lalu saat aku bersedia menerimanya jadi kekasihku.


Khayalan indah seperti di FTV dikala masa menjalin kasih, berkelana pergi kesana kemari berswa foto ria, tidak seperti pada kenyataannya.


Ini bukan wujud tidak bersyukur, bukan, justru aku amat bersyukur bahwa pikiran keegoisanku untuk hanya menyenangkan diri sendiri dan berlagak jadi orang sok kaya, memberikanku amat banyak perlajaran saat bertemu dirinya, Isal.


Seseorang yang selalu aku semogakan di akhir doa setelah ku jalani solat fardhu dzuhurku di kampus Pengadegan, sudah ada digenggamanku, bersama diriku selama sudah lebih dari 9 tahun tepatnya 9 tahun 5 bulan. Tuhan sudah menjawab doaku dengan menjadikan seseorang yang selalu aku semogakan dalam doa, untuk hanya jatuh cinta kepadaku.


2011 adalah masa- masa kuliah D1 ku dan masa- masa indah yang justru kebanyakan orang mengklaim SMA lah masa- masa indah itu.


Aku sangat bahagia dapat memilikinya, dia menerima semua keadaanku namun dasar aku manusia yang tidak pernah merasa puas.  Seseorang yang aku semogakan ini, nyatanya tidak seindah yang aku bayangkan.


Jatuh bangun aku bertahan bertahun- tahun demi melihatnya dapat kerjaan yang mapan sementara aku di keluargaku juga berjuang untuk mencari nafkah.  Ya, ayah sudah pensiun dari PLN sejak aku sudah bekerja di salah satu tempat kursus bahasa Inggris di Depok. Pun keputusan itu aku tidak tahu kapan tepatnya, yang aku tahu saat ini aku yang menjadi tulang punggung keluarga.


Bangga, senang dan bersyukur atas apa yang aku terima pastinya.  Namun terkadang perasaan sedih itu menjelma, andai saja ayah masih bekerja, dan aku juga bekerja, pasti aku seperti anak- anak gadis lainnya yang berkerja menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. Sering main ke mall, menikmati masa muda sebelum menikah, membeli barang- barang branded, ya menikmati hasil jerih payah itu seutuhnya untuk kepentingan ku.  Tapi dengan tidak lupa menyisihkan uang untuk ditabung, dan memberikan sebagian rizekiku kepada orang tua.


Terkadang mengapa aku sering merasa apa yang aku inginkan, belum tentu aku dapatkan. Ah, aku amat berperasaan dan mudah mengeluh.


"Wi ko lo sekarang pendiem sih, semenjak abis sakit lo pendiem", kata Jihan mengagetkanku.


Andai saja kamu tahu, kehidupan percintaan seperti yang kamu jalani saat ini adalah yang aku amat idamkan.

Faisal yang aku amat ingini dari tahun pertamaku saat aku kuliah D1, jarang sekali mengajakku ke tempat semacam ini.


Mungkin bisa dihitung jari, dan itu juga jika aku masih menyimpan memorinya karena seringkali ketika jalan dengannya, swafoto jarang kami lakukan.


Dino steak, Martabak kubang, Waroeng Steak, Makaroni Panggang, KFC, Pizza Hut, Seulawah, Pidi Mie Aceh, Cakra Donya, Hanamasa, Hokben, Beranda, Steam Boat Cibubur, Steam Boat house, Steak (yang dekat batagor ehsan bandung- lupa namanya), Warung Gumbira??


Itu sederet resto yang pernah kami sambangi, selebihnya kami amat menikmati makan diwarung tenda seperti sakura atau warung seafood lainnya.


Semua amat berkesan, namun tidak seperti coffe shop yang Isal, Richo, Jihan dan aku tempati saat ini.


Pikiranku kacau, sehingga membuatku terdiam seribu bahasa. Aku tidak tahu harus berkata apa dan aku rasa mereka akan kapok mengajakku dan Isal ke coffee shop lagi.


"Iya Uwi tuh gini kayak waktu pertama ketemu pas ngumpul sama temen-temen aku", lanjut Richo membuyarkan lamunanku.


Faisal hanya tersenyum. Ah, sudah aku lelah dengan complaint-an kehidupanku saat ini.


"Emang iya?", kata itu yang keluar dari mulutku.


Tatapan nanar Isal seolah mengatakan, 'please jangan seperti ini, Wi'


Apa aku mungkin harus merasakan menjalin kasih dengan yang lainnya terlebih dahulu sehingga tahu betapa baiknya Faisal kepadaku? Aku lelah, harus menunggunya bertahun- tahun untuk melamarku dan itupun harus menabung bersama.


Mengapa dia tidak bisa mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dariku sehingga dia bisa memanjakanku? 1 tahun menganggur setelah ia resign dari kantor Cikarang, dan itu bukan waktu yang sebentar. 2018.


Apakah tahun 2018 adalah sinyal dimana aku harus pergi meninggalkan Isal? namun mengapa aku masih bertahan sampai saat ini?


April 2019 akhirnya pekerjaan mengampirinya. Ia diterima menjadi graphic designer di kantor Kompas, dan itu bertahan hanya sampai 1 tahun.


Apa ini yang dinamakan tumbal? Disaat kakak- kakaknya mendapat pria mapan yang sudah memiliki rumah dan mobil, namun Faisal hanya menggantungkan anak gadis selama 9 tahun?


Salah memang, aku mencintai seseorang hanya dari rupa. Aku bahkan tidak memahami betapa pentingnya perekonomian dalam roda kehidupan kala itu. Ya, saat dimana aku mulai mengenal rasa cinta dan hanya ingin dia menjadi milikku.

Namun saat sang pencipta sudah bekehendak aku  dengannya, kenyataan pahit mulai muncul walau ya memang dia tidak pernah bermain api dengan wanita lain dibelakangku.


Entah apa yang ada dibenakku saat ini, namun yang pasti aku merasa amat sedih melihat kenyataan bahwa aku harus bertahan dengan pria yang pekerjaan saja belum tetap walau dia sepenuh hati mencintaiku.


Aku mulai merasa bosan becumbu dengannya karena dia hanya ingin aku memuaskan birahinya ketika bertemu.


Aku benci ini sudah terjadi bertahun- tahun lamanya. Bukan, ini memang bukan salah dia, namun aku selalu merasa bersalah setelah melakukan hal cumbu itu.


Harapanku teramat tinggi ketika aku sudah dihadapkan pada umur 28 tahun dan aku belum menikah.


Tahun lalu saat kami mulai membuka rekening tabungan bersama untuk menghadapi pernikahan, ia berjanji bahwa kami akan menikah maksimal saat umurku 28. Bahkan ketika aku bekerja di KVG, di umurku 25 tahun, aku sempat bersitegang agar dia menikahiku karena target usiaku untuk menikah yaitu di angka 25. Namun semua sirna, sampai di tahun 2020 ini.


3 tahun berlalu dan perasaanku masih seperti dipermainkan. Bukan, bukan dipermainkan dengan makna yang sebenarnya. Namun lebih kepada, apa yang kamu inginkan tidak sejalan dengan apa yang kamu jalani saat ini. Mungkin bisa dibenarkan bahwa aku menyalahkan Faisal, mengapa harus dia yang mendekatiku dan bertahun- tahun menunggunya mendapatkan pekerjaan mapan.


Aku mencintainya dulu karena dari wajahnya, bukan karena aku tahu tingkah baik dan asyiknya, bukan karena aku tahu background keluarganya, bukan karena aku tahu pendidikannya, bukan karena aku tahu cerita kehidupannya, namun hanya karena wajahnya.


Dulu aku terobsesi dengan David Archuleta, jebolan American Idol, yang wajahnya 'sengaja' aku mirip-miripkan dengannya.


Aku tidak menampik bahwa aku juga didekati banyak pria, di kampus, di kantor, namun hati ini sudah tertuju padanya.


Aku lelah dengan harus menutup- nutupi kebahagianku berjalan bertahun- tahun dengannya. Aku lelah harus merelakan tubuhku dipandanginya saat tengah malam dan berbuat hal- hal 'manis' yang seharusnya belum kami lakukan. Aku lelah harus menunggunya mapan dan membahagiakan aku juga orangtuaku.


Apakah harus ku sudahi hubungan ini dengan baik- baik?

Apakah ada pria diluar sana yang setia menunggu kehadiranku untuk ia nikahi dan menerima semua keadaanku?


Satu hal, saat ini aku belum yakin menikah dengannya. Aku tidak ingin dipandang rendah oleh keluarganya yang OKB. Aku tidak ingin hidup dirumahnya, memasak setiap pagi untuknya, membersihkan rumah, dan merawat orangtuanya, karena saat inipun Faisal belum maksimal memberikan segalanya untukku dan keluargaku.


Pernahkah kamu merasa selelah ini seperti 'seharusnya aku tidak begini, mengapa aku mengalami hal ini'


Apakah ini wujud dari tidak bersyukurku? Aku bahkan tidak ingin tidak bersyukur, aku amat bersyukur menjalani hidup sekarang ini, punya Ayah, Mama, Unda, Mba dan anak2nya. Yang aku tidak rela adalah Faisal membuatku menjadi seperti wanita jalang yang harus dinikmati setiap bertemu dan tersiksa dengan birahi yang harus terpenuhi.


Ini belum saatnya aku merasakan hal 'manis' bercinta atau hal- hal yang berbau seks karena aku belum menikah. Namun berpacaran dengannya selama 9 tahun, sudah membuatku masuk ke pelosok terdalam tentang seks.


Terkadang terbesit dipikiran bahwa aku tidak jauh berbeda dengan 'wanita malam', bedanya mereka mendapatkan uang dari kenikmatan yang dirasakan sepasang 'kekasih', namun aku harus menjajakan tubuhku untuk pria yang belum tentu menjadi imam kehidupanku kelak.


Aku menyesal. Amat menyesal. Perasaan ini sungguh mengganjalku. Bahkan saat seorang pegawai negeri sipil teman SMPku mencoba mendekatiku, aku menapiknya demi mempertahankan Faisal.


Aku bertahan dari tahun ke tahun, katanya roda itu berputar, haruskah kutunggu beberapa tahun lagi menunggunya untuk selalu mentraktirku makan mewah meski sebulan sekali?


Don't judge a book from its cover then :))